Jumat, 09 November 2012

Berani Bermimpi itu baik #1

            Satu pepatah yang selalu terbesit dipikiran saya, bunyinya seperti ini “orang paling  miskin bukanlah orang yang tidak memiliki harta benda didunia, namun orang paling miskin itu adalah orang yang tidak mempunyai cita-cita. Kira-kira begitulah pepatah yang sering saya ingat, sehingga saya lupa siapa yang mencetuskan kata mutiara ini. hehehehe
            Hal yang membuat saya tertarik ada pada akhir dari kalimat tersebut, “orang paling miskin adalah orang yang tidak mempunyai cita-cita”. Cita-cita atau yang umumnya dikenal dengan mimpi adalah sesuatu harapan yang ingin dicapai. Ada cerita menarik yang saya copas dari blog teman sebagai awalan dari cerita kita.
            Alkisah, di sebuah desa miskin ada satu sekolah dasar. Hanya sedikit muridnya karena kebanyakan anak-anak di desa itu membantu orang tuanya mencari nafkah. Suatu hari, satu-satunya guru yang ada di sekolah itu sedang memberi pelajaran mengarang. Setelah menjelaskan cara-cara mengarang cerita, si guru memberikan pekerjaan rumah. “Anak-anak, pekerjaan rumah hari ini adalah mengarang dengan judul cita-citaku. Besok, hasil karangan kalian dibaca di depan kelas satu per satu…
Keesokan harinya, murid-murid maju ke depan kelas dan membacakan karangannya masing-masing. Kebanyakan dari mereka bercita-cita menjadi guru, petani, atau pegawai pemerintah, dll. Sang guru selalu manggut-manggut tanda setuju. Lalu, tiba giliran seorang murid yang paling muda usianya. Bajunya tambal sulam, tubuhnya kurus kecil, tapi suaranya sangat lantang. “Kalau besar nanti, aku ingin punya rumah besar di atas bukit, dengan pemandangan yang indah, berdampingan dengan pondok-pondok kecil di sekelilingnya untuk tempat peristirahatan. Berderet pohon cemara dan pohon-pohon yang rindang di antara rumah-rumah itu. Ada taman bunga tertata apik dengan beraneka bunga dan warna. Ada kebun buah dengan buah-buahan lezat yang bisa dipetik oleh penghuni rumah dan penduduk di sekitarnya. Saya ingin jadi orang sukses dan bahagia bersama dengan keluarga besar dan para tamu yang datang di sana”.
Mendengar suara lantang si murid kecil itu, kontan seisi kelas tertawa bersamaan. “Dasar pemimpi…!” ejek murid yang lain. Mereka mencemooh cita-cita si murid kecil. Melihat kegaduhan itu, si guru jadi marah-marah, la menganggap, biang kerok kegaduhan itu adalah si murid kecil. Si guru menegurnya, “Yang kamu tulis itu bukan cita-cita, tapi itu impian yang tidak mungkin terjadi. Kamu harus tulis ulang tentang cita-citamu yang sebenarnya”. “Guru, ini adalah cita-citaku yang sebenarnya. Ini bukan hanya mimpi, ini bisa menjadi kenyataan” murid kecil bersikeras. “Heh… kamu hidup di desa yang miskin, keluargamu juga keluarga miskin. Bagaimana kamu akan mewujudkan cita-cita seperti itu? Dasar pemimpi! Buat karangan yang masuk akal saja!” teriak si guru muiai tidak sabar.
Aku tidak mau cita-cita yang lain. Ini cita-citaku tidak ada yang lain…” si murid kecil ngotot. “Besok kamu harus bawa karangan yang baru. Jika kamu tidak perbaiki karanganmu itu, kamu akan mendapat nilai jelek” si guru mulai mengancam. Namun keesokan harinya, si murid kecil ke sekolah tanpa membawa karangan baru. Walau diancam dan dipermalukan seperti itu, dia tetap pada cita-citanya semula. Karena sikapnya yang keras kepala dan tidak mau mengikuti perintah guru, akhirnya ia mendapat nilai paling jelek di kelas.
Tanpa terasa waktu terus berjalan. Tiga puluh tahun kemudian, si guru masih tetap mengajar di sekolah dasar itu. Suatu hari, ia mengajak murid-muridnya belajar sambil berwisata ke sebuah kebun buah di atas bukit yang sangat terkenal. Kebun buah itu berada di desa tetangga, tidak seberapa jauh dari desa tempat mereka tinggal. Sesampai di kebun buah yang luas dan indah itu, si guru dan murid-muridnya berdecak kagum. Kebun buah itu ternyata dilengkapi dengan sebuah taman bunga yang luas, dikelilingi pepohonan yang rindang nan sejuk. Yang lebih mengagumkan, di dekatnya terdapat sebuah rumah besar bak istana. Tinggi menjulang, megah, dan sangat indah arsitekturnya. “Orang yang membangun istana ini pastilah orang yang sangat hebat. Mengapa baru sekarang aku tahu ada tempat seindah ini…” gumam si guru terkagum-kagum.
Tiba-tiba terdengar jawaban. “Bukan orang hebat yang membangun rumah ini, hanya seorang murid bandel yang berani bermimpi punya cita-cita yang besar. Pasti, yang lebih hebat adalah guru yang duiu mendidik bocah bandel itu. Mari masuk ke dalam rumah. Kita nikmati teh dan buah-buahan terbaik dari kebun ini…” ujar si pemilik rumah itu dengan ramah. Mendengar ucapan itu, mendadak si guru terpana dan teringat siapa yang berdiri di depannya. Dia adalah si murid kecil yang keras kepala yang mendapat nilai jelek waktu itu. Sekarang dia telah menjelma menjadi pengusaha yang sangat sukses. Matanya berkaca-kaca, merasa bersyukur sekaligus menahan malu karena 30 tahun yang lalu dirinya melecehkan cita-cita anak itu.

           


0 komentar:

Posting Komentar