Satu pepatah yang selalu terbesit dipikiran saya, bunyinya seperti ini “orang
paling miskin bukanlah orang yang tidak memiliki harta benda didunia,
namun orang paling miskin itu adalah orang yang tidak mempunyai cita-cita.
Kira-kira begitulah pepatah yang sering saya ingat, sehingga saya lupa siapa
yang mencetuskan kata mutiara ini. hehehehe
Hal yang membuat saya tertarik ada pada akhir dari kalimat tersebut, “orang
paling miskin adalah orang yang tidak mempunyai cita-cita”. Cita-cita atau yang
umumnya dikenal dengan mimpi adalah sesuatu harapan yang ingin dicapai. Ada
cerita menarik yang saya copas dari blog teman sebagai awalan dari cerita kita.
Alkisah, di sebuah desa miskin ada satu sekolah dasar. Hanya sedikit muridnya
karena kebanyakan anak-anak di desa itu membantu orang tuanya mencari nafkah.
Suatu hari, satu-satunya guru yang ada di sekolah itu sedang memberi pelajaran
mengarang. Setelah menjelaskan cara-cara mengarang cerita, si guru memberikan
pekerjaan rumah. “Anak-anak, pekerjaan rumah hari ini adalah mengarang
dengan judul cita-citaku. Besok, hasil karangan kalian dibaca di depan kelas
satu per satu…”
Keesokan harinya, murid-murid
maju ke depan kelas dan membacakan karangannya masing-masing. Kebanyakan dari
mereka bercita-cita menjadi guru, petani, atau pegawai pemerintah, dll. Sang
guru selalu manggut-manggut tanda setuju. Lalu, tiba giliran seorang murid yang
paling muda usianya. Bajunya tambal sulam, tubuhnya kurus kecil, tapi suaranya
sangat lantang. “Kalau besar nanti, aku ingin punya rumah besar di atas
bukit, dengan pemandangan yang indah, berdampingan dengan pondok-pondok kecil
di sekelilingnya untuk tempat peristirahatan. Berderet pohon cemara dan
pohon-pohon yang rindang di antara rumah-rumah itu. Ada taman bunga tertata
apik dengan beraneka bunga dan warna. Ada kebun buah dengan buah-buahan lezat
yang bisa dipetik oleh penghuni rumah dan penduduk di sekitarnya. Saya ingin
jadi orang sukses dan bahagia bersama dengan keluarga besar dan para tamu yang
datang di sana”.
Mendengar suara lantang si murid
kecil itu, kontan seisi kelas tertawa bersamaan. “Dasar pemimpi…!” ejek
murid yang lain. Mereka mencemooh cita-cita si murid kecil. Melihat kegaduhan
itu, si guru jadi marah-marah, la menganggap, biang kerok kegaduhan itu adalah
si murid kecil. Si guru menegurnya, “Yang kamu tulis itu bukan cita-cita,
tapi itu impian yang tidak mungkin terjadi. Kamu harus tulis ulang tentang
cita-citamu yang sebenarnya”. “Guru, ini adalah cita-citaku yang
sebenarnya. Ini bukan hanya mimpi, ini bisa menjadi kenyataan” murid kecil
bersikeras. “Heh… kamu hidup di desa yang miskin, keluargamu juga keluarga
miskin. Bagaimana kamu akan mewujudkan cita-cita seperti itu? Dasar pemimpi!
Buat karangan yang masuk akal saja!” teriak si guru muiai tidak sabar.
“Aku tidak mau cita-cita yang lain. Ini
cita-citaku tidak ada yang lain…” si murid kecil ngotot. “Besok kamu
harus bawa karangan yang baru. Jika kamu tidak perbaiki karanganmu itu, kamu
akan mendapat nilai jelek” si guru mulai mengancam. Namun keesokan harinya,
si murid kecil ke sekolah tanpa membawa karangan baru. Walau diancam dan
dipermalukan seperti itu, dia tetap pada cita-citanya semula. Karena sikapnya
yang keras kepala dan tidak mau mengikuti perintah guru, akhirnya ia mendapat
nilai paling jelek di kelas.
Tanpa terasa waktu terus berjalan. Tiga puluh
tahun kemudian, si guru masih tetap mengajar di sekolah dasar itu. Suatu hari,
ia mengajak murid-muridnya belajar sambil berwisata ke sebuah kebun buah di
atas bukit yang sangat terkenal. Kebun buah itu berada di desa tetangga, tidak
seberapa jauh dari desa tempat mereka tinggal. Sesampai di kebun buah yang luas
dan indah itu, si guru dan murid-muridnya berdecak kagum. Kebun buah itu
ternyata dilengkapi dengan sebuah taman bunga yang luas, dikelilingi pepohonan
yang rindang nan sejuk. Yang lebih mengagumkan, di dekatnya terdapat sebuah
rumah besar bak istana. Tinggi menjulang, megah, dan sangat indah
arsitekturnya. “Orang yang membangun istana ini pastilah orang yang sangat
hebat. Mengapa baru sekarang aku tahu ada tempat seindah ini…” gumam si
guru terkagum-kagum.
Tiba-tiba terdengar jawaban. “Bukan orang
hebat yang membangun rumah ini, hanya seorang murid bandel yang berani bermimpi
punya cita-cita yang besar. Pasti, yang lebih hebat adalah guru yang duiu
mendidik bocah bandel itu. Mari masuk ke dalam rumah. Kita nikmati teh dan
buah-buahan terbaik dari kebun ini…” ujar si pemilik rumah itu dengan
ramah. Mendengar ucapan itu, mendadak si guru terpana dan teringat siapa yang
berdiri di depannya. Dia adalah si murid kecil yang keras kepala yang mendapat
nilai jelek waktu itu. Sekarang dia telah menjelma menjadi pengusaha yang sangat
sukses. Matanya berkaca-kaca, merasa bersyukur sekaligus menahan malu karena 30
tahun yang lalu dirinya melecehkan cita-cita anak itu.
0 komentar:
Posting Komentar