Kamis, 15 November 2012

Mahasiswa & Rekayasa Sosial


 Pendahuluan
Latar Belakang
            Pada awal abad XV hijriah yang lalu, masyarakat Islam dunia telah menyepakati dan menyatakan sebagai permulaan dari Kebangkitan Islam (Kebangkitan Umat Islam). Tetapi di kalangan intelektual muslim terdapat beragam pemikiran tentang hal ini. Memang hal yang paling fundamental untuk dibahas adalah apa yang layak dijadikan agenda umat dalam mengisi era kebangkitan tersebut. ‘apa yang layak dijadikan agenda umat’, menurut saya adalah defenisi aplikatif tentang pertanyaan teoritik tentang apa itu defenisi rekayasa sosial dalam konteks membangun peradaban Islam.
            Secara umum, proses kebangkitan Islam sejak awal abad 15 H dimotori oleh kaum muda muslim. Yusuf Qardhawi dalam kitabnya “Ummatuna Bainal-Qarnain” menyebutkan diantara fenomena kebangkitan Islam adalah kembalinya para pemuda kepada ajaran Islam dan mereka meramaikan kembali mesjid-mesjid, serta semaraknya kaum muda muslimah dalam mengenakan jilbab. Menurut Syaikh Musthafa Muhammad Thahhan, Pemuda, saat ini telah menjadi kekuatan dakwah yang berkembang dan tertata baik, serta mulai meluaskan amal dakwahnya ke tengah-tengah masyarakat untuk melakukan perubahan diberbagai bidang, khususnya sosial dan politik.
            “Pendidikan adalah awal pergerakan, pergerakan tanpa pendidikan adalah pemberontakan. Melihat dari kondisi kekinian, kita secara sadar atau tidak kita kita di buai dengan rekayasa-rekayasa. Bagaimana pemuda menanggapi rekayasa dan merintis kembali untuk memenangkan Islam di Era Globalisasi ini.
 Rumusan Masalah
          Beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu :
-          Apa itu rekayasa social ?
-          Seberapa urgensinya rekayasa social dalam problematika ummat ?
-          Bagaimna peran mahasiswa dalam dalam rekayasa social.
                               

Pembahasan
Definisi Rekayasa Sosial
            Secara sederhana, rekayasa sosial adalah upaya meng-konstruksikan bangunan sosial menuju masyarakat yg ideal sesuai dengan yang kita cita-citakan. Sebuah bangunan sosial ideal itu lahir dari seperangkat nilai dan system yang sudah disepakati oleh ‘para pe-rekayasa’. Maka, jika kita bicara tentang ‘agenda kebangkitan umat Islam’, ia adalah suatu dinamika yang mengguncang akal pikiran, emosi dan realitas. Ia berarti, menurut Syaikh Musthafa Muhammad Thahhan, bangkitnya Islam dalam kehidupan, sebagai sebuah misi yang mengemban semua cita-cita manusia dalam keyakinan, kemerdekaan dan keadilan untuk menghindarkan mereka dari posisi marjinalnya di luar realitas. Dengan diraihnya cita-cita itu, mereka masuk dalam dinamikanya dan bergerak secara leluasa menuju kesempurnaan intelektual, hingga tidak ada peluang untuk menggunakan pemikiran lain.
Urgensi Rekayasa Sosial
            Jika boleh ‘disederhanakan’ bahwa analisis problematika sosial umat Islam hari ini bermuara pada anggapan bahwa agama merupakan sesuatu, sedangkan bidang lainnya (walaupun sebenarnya agama bukanlah suatu bidang) adalah sesuatu yang lain.  Di bidang politik, misalnya, tidak boleh ada praktek politisasi agama dan agama-isasi politik, karena agama adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan sedangkan politik adalah hubungan manusia dengan manusia lainnya. Begitu juga bidang lainnnya seperti ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Pemisahan agama dari semua bidang ini kita sebut dengan ‘sekularisasi’, buah dari faham ‘sekularisme’.
Konsepsi ini telah menjadi ‘keyakinan’ masyarakat awam bahkan para ‘ulama’ yang menggeserkan urusan individu dari kajian fiqh sembari mengabaikan aspek sosial, yang bertolak dari lingkup manusia dan hubungannya dengan Negara, karena bagi mereka hal itu tidak termasuk pembahasan. Realitas, menurut anggapan mereka, tidak mengizinkan berdirinya sebuah konstruksi Negara Islam. Karena itu, kita harus hidup dengan system menyimpang, dengan menyembunyikan pemikiran dan amaliah kita.
Problematika diatas adalah satu contoh problem sosial (sebenarnya saya mau mengatakan ‘penyakit sosial) yang menjadi alasan kuat tentang urgensi/perlunya sebuah landasan berpikir atau cetak biru pada apa yang kita sebut dengan ‘rekayasa sosial’ atau dalam konteks kita ‘apa yang layak dijadikan agenda umat’.

Mengenal Konsep – konsep Rekayasa Sosial
            Sebagaimana saya katakan diawal bahwa konsepsi rekayasa sosial tidak bisa dilepaskan dari nilai dan system yang menjadi fondasi pemikirannya. Jika merunut pada beragamnya pemikiran manusia dengan berbagai variannya, tentu diperlukan kerja keras kita untuk mengurai satu per satu konsep-konsep rekayasa sosial. Akan tetapi, secara filosofis-historis, perkembangan ilmu sosial diawali dari dialektika kapitalisme dan sosialisme (Materialisme, Dialektika dan Historis karangan Karl Marx).
Mari kita ambil satu contoh, Kapitalisme, ideology ini kemudian berkembang sedemikian rupa lalu menjadi sebuah ‘mazhab baru’ dalam struktur kebijakan Negara  yang diistilahkan dengan “Neo-Liberalisme”. Konsepsi neolib mendorong; kekuasaan pasar, pemotongan terhadap pengeluaran public dan tunjangan sosial, deregulasi, swastanisasi/privatisasi, menekankan konsep ‘tanggung jawab perseorangan’.
Jika sebuah rezim mengadopsi mazhab neolib ini untuk diformulasikan dalam seperangkat kebijakan, tentu implikasi nya kemudian adalah terkonstruksikannya masyarakat dalam sebuah pola sosial politik yang memang dikehendaki oleh akar pemikirannya.
Mahasiswa dan Rekayasa Sosial
 “Kita harus membaca situasi sekarang ini dengan semangat bagaimana memanfaatkannya sebagai momentum untuk kemajuan-kemajuan baru, lompatan-lompatan baru, bagi kepentingan strategis dan sejarah dakwah “
(Ust. Anis Matta Lc, dalam Menikmati Demokrasi)


- Problem Sosial
Sebelum kita melangkah untuk membahas rekayasa sosial maka biasanya orang harus mengetahui dulu apa itu problem sosial, karena adanya rekayasa sosial itu didahului timbulnya problem-problem (masalah) sosial. Problem adalah sebuah kondisi di mana terjadi perbedaan antara apa yang kita inginkan (das Sollen) dan apa yang telah terwujud menjadi suatu kenyataan (das Sein). Kita menginginkan cepat lulus kuliah namun kenyataannya skripsi tidak kelar-kelar, atau kita ingin segera mengakhiri masa lajang, namun apa daya ternyata proposal ditolak terus. Akibatnya terjadi perbenturan antara idealita dan realita.
Problem itu sendiri sebenarnya dibagi menjadi 2 dimensi yakni bertaraf individu dan bertaraf sosial. Problem individu adalah masalah yang timbul dari individual qualities (kualitas-kualitas individu) atau dari lingkungan terdekat. Misalnya seseorang pemuda yang ditolak lamarannya oleh orang tua sang gadis yang telah diincarnya karena dianggap masih menganggur. Si pemuda masih menganggur disebabkan memang malas mencari duit, jadi ini adalah masalah personal dari yang bersangkutan. Atau seseorang yang ditolak untuk menjadi penyanyi oleh produser rekaman karena suaranya memang hanya merdu kala di kamar mandi saja.
Sebaliknya masalah sosial bermula dari faktor dan lingkungan sosial. Philip Kotler menyebutkan bahwa problem sosial adalah kondisi tertentu dalam masyarakat yang dianggap tidak enak atau menganggu oleh sebagian anggota masyarakat dan dapat dikurangi atau dihilangkan melalui upaya bersama (kolektif). Ada 3 problem sosial yang bisa kita kemukakan di sini yang mana ketiga problem sosial tersebut menjadi sumber perubahan sosial, yakni kemisikinan, kejahatan, dan konflik.
- Perubahan Sosial
Perubahan sosial adalah terjadinya perubahan bentuk dan fungsionalisasi kelompok, lembaga, atau tatanan sosial yang penting. Ada istilah lain yang diberikan oleh para ilmuwan tentang perubahan sosial, yang substansinya sama atau hampir sama. Less dan Presley menyebutnya social engineering, MN Ross mengatakannya social planning (perencanaan sosial), dan Ira Kaufman mengistilahkannya dengan change management (manajemen perubahan). Sedangkan Jalaluddin Rakhmat menggunakan istilah rekayasa sosial dan ini yang kita bahas.
Menurut sosiolog terkenal, Max Weber, penyebab utama perubahan adalah ideas atau pandangan. Tesis utama dari Weberianisme adalah pengakuan terhadap peranan besar idelogi sebagai variabel independen bagi perkembangan masyarakat. Penyebab kedua adalah tokoh-tokoh besar. Menurut Thomas Carlyle sejarah dunia adalah biografi orang-orang besar. Perubahan sosial terjadi karena munculnya tokoh atau pahlawan yang dapat menarik simpati para pengikutnya yang setia, dan kemudian mereka bersama-sama melakukan perubahan di dalam masyarakatnya. Perubahan sosial yang ketiga terjadi karena adanya gerakan sosial (social movement) seperti yang dilakukan LSM.
- Aksi Sosial
Setelah mengetahui problem sosial yang terjadi dan upaya untuk melakukan rekayasa sosial, maka yang dibutuhkan selanjutnya adalah aksi sosial. Aksi sosial diartikan sebagai tindakan kolektif untuk mengurangi atau menghilangkan masalah sosial. Aksi sosial mengandung lima unsur (5C), yakni cause, change agency, change target, channel, dan change strategy. Cause atau sebab, ini berkaitan dengan misi, motif, atau tujuan. Setiap problem sosial membutuhkan sejumlah pemecahan atau solusi yang beragam. Ada 3 sebab atau alasan untuk turun dalam dataran aksi yakni membantu (helping), memprotes (reform), dan menghancurkan (destroy/revolusi). Saat ini revolusi menjadi wacana yang sedang naik daun di kalangan gerakan mahasiswa. Revolusi adalah motor penggerak sejarah, demikian pendapat Karl Marx. Secara definitif ia diartikan sebagai perubahan yang cepat dan mendasar dari masyarakat dan struktur kelas suatu negara, dan revolusi tersebut dibarengi serta sebagian menyebabkan terjadinya pemberontakan kelas dari bawah.
Rekayasa sosial di mana pun tempatnya dan kapan pun masanya selalu membutuhkan aktor-aktor untuk melakukan gerakan. Ada 2 kelompok besar di balik upaya rekayasa sosial yakni pemimpin-pemimpin (leaders) dan pendukung (supporters). Kalau dijabarkan lebih lanjut akan kita temukan derivasinya yang mana tiap-tiap orang mempunyai peran yang tertentu. Ada orang yang menggerakkan, ada yang terus-menerus memberikan motivasi agar massa tetap bergerak, ada yang membantu dengan sumber daya, dana dan fasilitas, ada yang memperngaruhi kalangan elit, ada yang mengatur administrasi sebuah gerakan, ada yang harus menjadi konsultan, ada juga tipe pekerja atau aktivis, ada pendonor, dan yang tak kalah pentingnya adalah para simpatisan.
Sasaran perubahan menurut Jalaludin Rakmat dalam bukunya Rekayasa Sosial ada 2 yaitu pertama sasaran akhir, berupa korban atau lembaga-lembaga yang dirusak. Kedua adalah sasaran antara seperti masyarakat/pemerintah, bisnis, atau profesi.
Unsur selanjutnya dari aksi sosial adalah chanel atau saluran yaitu media untuk menyampaikan pengaruh dan respon dari setiap pelaku perubahan ke sasaran perubahan. Dalam klasifikasi Kotler, media ini dibagi menjadi dua, media pengaruh dan media respon. Keduanya dapat menggunakan media massa atau media interpersonal.
Terakhir adalah change strategy (strategi perubahan), yaitu teknik utama mempengaruhi, yang diterapkan oleh para pelaku perubahan untuk menimbulkan dampak pada sasarn perubahan. Ada tiga alternatif strategi : memaksa (power strategy), membujuk (persuasi), dan mendidik (edukasi).
- Gerakan Mahasiswa
Tampaknya berbicara mengenai rekayasa atau perubahan sosial menjadi tidak adil jika tidak membicarakan (ngrasani) mahasiswa. Pengalaman sejarah membuktikan bahwa gerakan mahasiswa menjadi kekuatan dahsyat untuk merubah kondisi di negeri ini sejak dulu. Jaman pergerakan kemerdekaan (masa 1908, 1928, dan 1945), penjungkalan Orde Lama, Peristiwa Malari, aksi-aksi protes terhadap kebijakan NKK/BKK, tumbangnya Eyang Soeharto, dan sebagainya cukup menjadi bukti. Mahasiswa sejak dulu, kini, dan sampai kapan pun selalu berpeluang untuk berada pada posisi terdepan dalam proses perubahan masyarakat sehingga pantaslah jika ia mendapatkan sandang sebagai kelompok pembaharu. Orang sering mengatakannya dengan gerakan moral yang tidak berambisi menduduki jabatan kenegaraan tertentu atau tanpa           pamrih.
Menurut Arbi Sanit ada 2 peran pokok yang selalu tampil mewarnai setiap aktivitas gerakan mahasiswa. Pertama, sebagai kekuatan korektif terhadap penyimpangan yang terjadi. Kedua, sebagai penerus kesadaran masyarakat luas akan problema yang terjadi sehingga ia senantiasa melahirkan berbagai alternatif pemecahan.
Namun demikian perjalanan gerakan mahasiswa tidak berjalan mulus begitu saja, karena pihak penguasa selalu khawatir akan protes-protes perlawanan mahasiswa terhadap kebijakannya yang tidak pro rakyat. Karena itulah pihak penguasa melakukan intervensi ke dalam kampus. Penguasa menyadari bahwa kampus sebagai pembaharu masyarakat, sebagai sumber daya politik, dan mempunyai watak kemandirian yang menumbuhkan sikap kritis. Akibat intervensi dari negara tersebut (terutama dengan dikeluarkannya NKK/BKK, yang walau sudah dicabut namun dampaknya masih terasa) menimbulkan 3 hal. Pertama, terasa kuatnya tekanan terhadap pertumbuhan daya kreativitas warga kampus. Kedua, intervensi birokrasi departemen yang mendalam telah menjadikan para pimpinan unit universitas menjadi semacam “Raja Kecil”. Ketiga, tumbuhnya gejala apatisme sebagai kelanjutan perpaduan kedua hal di atas.
Menghadap kenyataan seperi itu ada 2 pilihan yang harus dilakukan oleh para mahasiswa sebagai bagian dari warga kampus. Mahasiswa akan mengundurkan diri ke “dunia dalam” yang bersifat pribadi dan cenderung pragmatis tanpa mau memperhatikan keadaan yang terjadi di sekitarnya ataukah mahasiswa justru keluar dari “dunia dalam” dan memberontak melawan ketidakadilan.

Daftar Pustaka
http://bangbegs.blogspot.com/2009/08/mahasiswa-dan-rekayasa-sosial.html
http://fadhliyafas.blogspot.com/2007/11/rekayasa-sosial-social-engineering.html
http://democrappuccino.wordpress.com/2010/10/24/rekayasa-sosial-oleh-herman-thamrin/
Rakhmat, Jalluddin. Rekayasa Sosial.





0 komentar:

Posting Komentar