Senin, 15 April 2013

Koalisi Cinta dan Politik Ala Rasulullah

Menarik sekali mencermati setiap jejak kehidupan Beliau. Dalam diamnya, ada hikmah kesabaran. Disetiap tebasan pedangnya ada arti perjuangan dan kerja keras tak kenal lelah. Begitupun dalam pernikahannya. Beliau tak sekedar menebar cinta. Ada motif lain yang ingin diraih. Tentu morif ini dalam rangka memperkokoh dakwah Islam.

Saat Rasulullah mempersunting Khadijah. Tak semata hanya lantaran Khadijah saudagar kaya dan berparas jelita. Prof. DR. Muh. Rawas Qol'ahji dalam bukunya "Sirah Nabawiyah dalam Tinjauan Politis" mengemukakan, setidaknya ada dua hal yang mendorong Rasulullah mempersunting Khadijah dan tidak melakukan poligami saat bersama dengannya.


Pertama, sebagai penghargaan Rasulullah atas semangat jihad Khadijah dalam menciptakan ghirah (semangat) dan keteguahan pada diri Rasulullah. Khadijah adalah orang pertama yang berislam sekaligus menjadi penolong Rasulullah saat banyak orang yang mengingkari risalah yang dibawanya.

Kedua, saat itu al marhalah attasyri'iyah (periode perundang-undangan) belum dimulai. Lain halnya saat periode itu tiba, terutama saat Rasulullah telah hijrah ke Madinah. Sebagian besar undang-undang diterapkan oleh Rasulullah di dalam rumahnya. Maka penyampai dan penerjemah yang terbaik atas undang-undang tersebut adalah para istri Rasulullah. Jadi tepatlah jika Rasulullah memilih lagkah untuk berpoligami. Selain itu saat Rasulullah menikahi Khadijah, musuhnya masih sebatas orang Quraisy dan belum meliputi suku lain di Arab.

Jika kita juga cermat mengamati, Rasulullah menjatuhkan pilihannya pada banyak tipe wanita. Rasulullah pernah memilih anak-anak yang masih sering bermain boneka. Ada juga dari kalangan wanita yang sudah tua. Juga mempersunting wanita yang bapaknya adalah musuh bebuyutan Rasulullah. Dilain waktu Beliau mempersunting wanita, anak dari orang yang sangat mengaguminya. Ada hikmah dari pilihan-pilihan Rasulullah itu. Beliau ingin mencontohkan kepada umatnya, bagaimana cara memanjakan beragam tipe manusia.

Koalisi cinta yang bernuansa politik, semakin kental terlihat saat setelah Rasulullah memproklamirkan berdirinya negara Islam di Madinah. Rasulullah memepersunting beberapa wanita. Jelas tak sekedar kepentingan cinta. Tapi ada kepentingan politik. Ada budaya dikalangan orang Arab. Mereka berkewajiban menjaga dan melindungi siapa pun yang menikahi wanita dari kalangannya. Merujuk dari situlah Rasulullah menikahi wanita dari berbagai suku. Untuk meredam dan meringankan perlawanan dan permusuhan terhadap dakwah Islam.

Jadi jelas pernikahan yang dilakukan oleh Rasulullah dalam rangka meraih kemaslahatan yang lebih besar. Bukan sekedar kemaslahatan pribadi, namun lebih dari itu, kemaslahatan Islam dan umatnya. Juga ditujukan untuk semakin memperluas gerak dakwah dan memperkuat sendi-sendi negara Islam.

Inilah model koalisi cinta sejati. Kebermanfaatannya tidak sekedar dirasa oleh kedua mempelai. Namun mampu membawa kemaslahatan kepada orang banyak. Terlebih, kepada Islam. Koalisi cinta, yang terwarnai kepentingan politik, yaitu mempertahankan sistem yang ada tentu wajar adanya. Nah pertanyaannya sekarang sistem apa yang ingin dipertahankan oleh koalisi cinta dan politik itu? Jika yang dimaksud adalah sistem demokrasi-sekuler yang ada saat ini tentu koalisi itu berbahaya. Karena justru akan memperkuat sistem yang telah terbukti tidak pernah mensejahterakan Indonesia. Bahkan membawa Indonesia pada jurang keterpurukan yang lebih dalam.

Lain perkara jika koalisi cinta dan politik itu bertujuan untuk menegakkan sistem Islam. Koalisi model ini harus didukung bahkan diusahakan. Karena sejarah telah membuktikan, aturan Islam sukses menyejahterakan dunia. Apalagi banyak dalil dalam Quran dan sunah yang mewajibkan secara tegas untuk mengatur seluruh sendi kehidupan dengan aturan Islam. Mulai dari pemerintahan, ekonomi, sosial budaya, bahkan sampai hal sekecil masuk kamar mandi pun wajib taat pada aturan Islam.

Bagaimana dengan koalisi cinta Ibas dan Aliya? Akankah berujung pada koalisi politik? Waktulah yang akan menjawabnya. Namun jika koalisi cinta itu berujung pada koalisi politik dengan tetap melanggengkan sistem demokrasi-sekuler yang ada saat ini, sama saja. Tidak banyak mafaat yang bisa diambil darinya. Justru koalisi itu akan memperpanjang penderitaan rakyat. Dan riak-riak itu sudah mulai terlihat. Seharusnya pemimpin negeri ini punya empati terhadap rakyatnya. Rasanya kurang etis mempertontonkan kemewahan ditengah rakyat yang masih menderita. Pemimpinnya berpesta pora, rakyatnya menjerit kelaparan.

Akhirnya sudah waktunya kita mengeluarkan bangsa ini dari kungkungan sistem demokrasi yang tidak pernah menyejahterakan ini. Caranya adalah dengan mejadikan perjuangan menegakkan syariat Islam sebagai agenda perjuangan utama umat Islam. Jika ingin berkoalisi cinta dan politik, teladanilah Rasulullah. Berkoalisi untuk memuluskan jalan dakwah, menuju tegaknya kembali kemulian Islam

0 komentar:

Posting Komentar